*By Dr. Firman T Endipradja
Proses penggabungan usaha PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) akhirnya telah sah dan telah sampai pada tahap penandatanganan Akta Penggabungan setelah masing-masing bank yang akan bergabung mendapat restu dari para pemegang saham melalui forum RUPSLB untuk menuntaskan merger. (16/12/2020),
Aksi korporasi, apapun bentuknya, akan menimbulkan konsekuensi bagi setiap entitas bisnis yang melakukannya. Tidak terkecuali langkah merger yang akan dilakukan oleh tiga bank BUMN syariah milik pemerintah ini, yang menurut UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) BUMN adalah termasuk pelaku usaha.
Potensi bisnis bank syariah sangat prospektif. Apalagi dalam situasi ekonomi yang lesu seperti sekarang ini, di mana banyak bank konvensional yang kinerjanya belum sesuai dengan kepercayaan konsumen. Bank syariah merupakan salah satu pilihan bisnis yang potensial. Bukan hanya untuk segmen konsumen muslim, potensi bisnis bank syariah juga prospektif menyasar konsumen universal.
Prospek ini sudah diakui secara global. Di luar negeri, seperti di Eropa, bank-bank berkonsep syariah banyak dipercaya oleh konsumen non muslim.
Namun, selain terdapat sisi positif/keuntungan, merger tiga bank BUMN syariah itu dikhawatirkan akan menciptakan monopoli bisnis di industri ini. Sebab, pemain bank umum syariah (BUS) menjadi berkurang, dari 14 menjadi 12. Ada kemungkinan untuk mengeksploitasi monopoly power dan memberi harga lebih tinggi kepada konsumen.
Pemerintah harus mempertimbangkan ekosistem karena jumlah bank syariah tidak banyak. Merger itu bisa memicu kecenderungan ke arah monopoli, mengingat dominasi ketiga bank BUMN di segmen perbankan syariah. Sebenarnya, tidak perlu ada penggabungan itu dan membiarkan kondisi ini berjalan secara alamiah supaya pemainnya bisa lebih banyak dan lebih memacu persaingan sehat, memacu dinamika yang lebih baik sehingga perbankan syariah bisa tumbuh lebih cepat dan konsumen memperoleh pilihan yang lebih variatif.
Dari perspektif konsumen, walaupun Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memberikan pengecualian kepada instansi pemerintah. Artinya, sepanjang masih berstatus BUMN, merger ketiga bank tidak bisa digagalkan dengan beleid ini. Namun, pengecualian tersebut tidak serta merta menjamin konsumen aman dari potensi kerugian. Sebab, dominasi atas kompetitor membuat bank hasil merger (bank BUMN syariah) ini mempunyai kemampuan lebih kuat untuk memengaruhi pasar. Praktik ke arah monopoli pada ujungnya akan rawan merugikan konsumen.
Konsideran UUPK menyebutkan bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan juga amanat dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Sedangkan kalimat "jasa yang diperolehnya di pasar" dapat diartikan sebagai jasa keuangan/perbankan syariah.
Di sisi lain, bank BUMN syariah hasil merger yang akan terbentuk, diharapkan benar-benar menganut sistem syariah sesuai aturan fiqih yang benar. Jangan sampai hanya menggunakan label syariah namun praktiknya tidak beda dengan bank konvensional yang pada umumnya mencari keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented), yang cenderung mengesampingkan hak-hak konsumen. (***)
*) Komisioner BPKN RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.