Jakarta l linkbisnis.co.id - Meski kondisi tatanan geopolitik di kawasan Timur Tengah sedang bergejolak akibat embargo Arab Saudi dan mitranya terhadap Qatar, toh geliat harga crude dunia belum mampu diprediksi lebih jauh dari seputar US$ 50-an per barel.
Menyikapi dinamika pasar seperti itu, Direktorat (Dit.) Hulu bersama anak-anak perusahaan bidang hulu Pertamina (APH), terus berupaya melakukan berbagai kebijakan yang berorientasi pada peningkatan efisiensi dan cost effectiveness di setiap lini, baik terkait dengan investasi maupun penggunan biaya operasi.
Berpijak pada kenyataan tersebut, Dit. Hulu dan APH terus menggali berbagai inovasi yang mampu memberikan solusi dengan tingkat efisiensi tinggi, sementara kinerjanya tidak terganggu. “Krisis tersebut bersifat eksternal yang sulit diintervensi pihak manapun dalam jangka pendek.
Langkah yang paling bijak adalah memanfaatkan situasi, itu untuk memacu perbaikan internal, baik bersifat peningkatan kesisteman maupun profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM),” tegas Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam dalam berbagai kesempatan.
Menurut Alam, seluruh jajaran Dit. Hulu dan APH harus mampu mengembangkan paradigma operasi yang bertumpu pada cost effectiveness tinggi. Hal tersebut dapat diraih, manakala kualitas SDM yang dimiliki benar-benar kapabel, smart, dan profesional, serta mampu bekerja dalam tatanan kaidah-kaidah operation excellence.
Lebih lanjut Alam menjelaskan bahwa saat ini Direktorat Hulu telah menyusun kebijakan terkait operation excellence dengan lima sasaran, yaitu: (1) improve performance menyangkut QHSE, optimasi produksi, pengembangan wilayah secara intregrasi, EOR, pengelolaan asset yang terintegrasi dan efisiensi di segala lini operasi; (2) optimize capex portfolio meliputi cluster development dan portfolio management untuk meningkatkan keekonomian; (3) action for growth, yaitu melakukan percepatan temuan eksplorasi (2C ke P1), investasi anorganik (akuisisi blok baik di dalam maupun luar negeri); (4) high impact project, mencakup pengelolaan Blok Mahakam khususnya dan beberapa blok terminasi lain yang memiliki dampak positif ke Pertamina; dan (5) enablers, yakni fokus pada business process & effective project management, leadership capability, people development (personnel engagement), dan adaptation of technology.
Dalam upaya menjalankan kebijakan operation excellent itu, fungsi Upstream Asset Optimization di bawah Upstream Strategic Planning And Operation Evaluation (USPOE) berhasil melakukan pengurangan Loss Production Opportunity (LPO) dengan optimalisasi program maintenance melalui reformulasi metode perhitungan reliability & availability menggunakan system wise, di Lapangan Poleng (Pertamina EP).
Sebelum diterapkannya metode ini, dampak negatif yang timbul adalah sebagai berikut: (a) Tidak tercapainya target produksi minyak dan gas; (b) Tidak tercapainya target revenue; (c) Ketidakhandalan fasilitas produksi; (d) Sering terjadi unplanned shutdown; (e) Angka Loss Production Opportunity (LPO) meningkat.
“Berdasarkan data LPO periode Januari 2014 – Juni 2015 sebesar 153.000 barel (bbl) dengan rata-rata per tahun sebesar 102.000 bbl. Akibatnya,bermuara pada loss opportunity revenue Pertamina sebesar ± US$ 5,1 juta (asumsi ICP US$ 50 per bbls),” ungkap Syah Afgani, Assistant Manager Upstream Production Facilities.
Afgan menuturkan, angka sebesar itu disebabkan oleh sistem perhitungan, yang hanya didasarkan pada major equipment saja, tidak atas critical to production. Hal ini mengakibatkan tidak adanya korelasi antara perhitungan reliability dan availability eksisting terhadap LPO. Oleh karena itu perlu dibuat sistem perhitungan reliability dan availability secara system wise dan membuat program maintenance terhadap equipment critical to production.
“Setelah diterapkannya metode perhitungan reliability & availability menggunakan system wise, LPO akibat unplanned shutdown surface facilities Poleng Field menjadi rata-rata 33.000 bbls per tahun dengan reliability ± 98% dan mampu memaksimalkan revenue Pertamina dari loss sebesar ± US$ 1,65 juta/tahun,” tambah Afgan
Lebih lanjut Afgan menjelaskan, metode perhitungan availability dan reliability menggunakan system wise dapat diterapkan di fasilitas produksi yang bekerja secara paralel tidak redundansi, paralel redundansi, dan secara seri.
Fasilitas produksi yang bekerja secara parallel tidak redundansi : Penghitungan availability dan reliability dihitung berdasarkan nilai rata-rata dari availability dan reliability peralatan/unit yang bekerja secara paralel. Fasilitas produksi yang bekerja secara paralel redundansi: Penghitungan availability dan reliability dihitung berdasarkan nilai dari un-availability dan un-reliability peralatan/unit yang bekerja secara paralel.
Fasilitas produksi yang bekerja secara seri: Penghitungan availability dan reliability dihitung berdasarkan perkalian dari nilai availability dan reliability peralatan / unit yang bekerja secara seri. “Tinggi rendahnya LPO menunjukan optimal dan tidaknya operasi surface facilities.
Operasi surface facilities meliputi pengoperasian fasilitas operasi produksi terdiri dari wellhead, flowline, separator, pompa transfer, pipeline, tangki penampung, dan sales point,” papar Afgan.
Sejak dioperatori Pertamina pada 2013 produksi Poleng Field terus naik. Peningkatannya pernah mencapai 40% lebih tinggi dibandingkan saat dikelola operator sebelumnya perusahaan Korea Selatan (KODECO), yang hanya mampu memproduksi 2.030 barel minyak per hari (BOPD).
Dalam kondisi efisiensi ketat, produksi minyak Poleng Field pada 2016 kemarin rata-rata 2.858 BOPD atau 100,5% dari target RKAP 2016 (2.843 BOPD).
Sementara produksi gas sebanyak 5,45 juta kaki kubik gas perhari (MMSCFD) atau 126,3% terhadap RKAP 2016 (4,32MMSCFD). “Produksi Lapangan Poleng bersumber dari empat anjungan (platform), yakni anjungan AW, BW, CW, dan DW yang berlokasi di lepas pantai Jawa Timur Utara,” pungkas Afgan.DIT. HULU (add).